Totality Dalam Evaluasi



Kejahatan bukan hanya terjadi karena niat Tetapi juga karena ada kesempatan. Kalimat ini sering kita dengar di televisi dari seorang yang menamakan diri Bang Napi. Lha terus apa hubungannya dengan catatan saya. Kali ini saya akan membahas tentang evaluasi. Sudah pasti sekolah melaksanakan banyak kegiatan evaluasi pembelajaran, apakah itu penilaian harian, penilaian tengah semester, atau juga penilaian kenaikan kelas. Kegiatan ini sudah pasti menjadi menu tiap semester bagi bapak dan ibu guru. Kalau dilihat dari tupoksi, maka kegiatan evaluasi adalah rangkaian kegiatan paling akhir dari pembelajaran. Dua yang lain adalah perencanaan dan pelaksanaan.

Bloom mendefinisikan evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam pribadi siswa. Ini yang kadang luput menjadi perhatian guru dan sekolah. Evaluasi hanya sekedar membuat nilai di raport tanpa melihat sejauh mana perubahan yang terjadi dalam diri siswa. 
Pengalaman ini pernah saya alami sendiri. Suatu ketika di sekolah dilaksanakan rapat pleno kenaikan kelas. Seperti biasa kurikulum akan membahas kelas per kelas untuk memetakan siswa bermasalah lengkap dengan acuan kriteria kenaikan kelas. Pada gilirannya adalah kelas dimana saya ikut mengajar di dalamnya. Saya mengutarakan ada enam siswa yang bermasalah terkait dengan mata pelajaran saya. 
Seketika ruang rapat menjadi ramai. Teman-teman guru saling berbisik, “kok bisa sampai enam orang”. Jawaban lain terlontar dalam bahasa jawa, “iso mulang opo ora iku?”. Mungkin saya dianggap guru aneh karena berani menunda kenaikan enam orang sekaligus. Suatu keberanian yang luar biasa dan jauh dari “kebiasaan”. Saya menggunakan kata kebiasaan karena sepertinya ini menjadi hal yang biasa dilakukan oleh guru. “Wis golek aman saja”, satu kalimat petuah dari teman guru. 
Rapat pleno tidak jauh beda dengan acara lelang. Satu persatu guru akan menaikkan nilai siswa yang bermasalah tanpa melaksanakan tindakan perbaikan dulu. Suatu tindakan yang jauh menyimpang dari pendapat Norman E. Gronlund dimana “Evaluation is a systematic process of determining the extent to which instructional objectives are achieved by pupils”. Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa. Saya menyakini siswa yang “ditolong” tadi tidak bisa mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan gurunya.

Pengalaman selama menjadi guru menjadi bahan evaluasi saya. Selama menjadi “kepala sekolah kecil” (ketua jurusan) saya menekankan betul kepada teman-teman guru produktif dalam satu jurusan untuk konsisten memberi nilai. Berikan nilai sesuai dengan tujuan penilaian yang membedakan anak yang bisa dan belum bisa. Berikan kesempatan kepada anak yang belum bisa untuk mengulang setahun lagi belajar. Sistem yang saya jalankan ini ternyata berhasil. Tidak naik kelas menjadi hal yang biasa bagi siswa yang belum bisa dan naik kelas menjadi hal yang luar biasa bagi siswa karena berhasil melaksanakan pembelajaran selama satu tahun dengan baik.
Konsep tidak naik kelas menjadi hal yang biasa dan naik kelas menjadi hal yang luar biasa akan saya terapkan dalam mengelola pembelajaran di SMK N 1 Tuntang. Menaikkan anak yang sebetulnya belum bisa bagi saya adalah sebuah kesalahan. Dan saya tidak akan memberikan kesempatan hal itu terjadi di sekolah yang saya pimpin.
Menutup tulisan ini saya minta maaf jika menggunakan kata kejahatan bukan kesalahan karena Bang Napi bilangnya seperti itu.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, Kepala SMKN 1 Tuntang

Previous
Next Post »

Terimakasih Komentar Anda ConversionConversion EmoticonEmoticon