Kekerasan di Dunia Pendidikan


Sumber foto : www.psmk.kemdikbud.go.id

Hari ini saya mengikuti Bimbingan Teknis Pelindungan Keprofesian Bagi Guru Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Hotel Maharani Jakarta. Sebuah kegiatan yang sangat penting bagi kita sebagai guru terkait banyaknya kejadian kekerasan di lingkungan sekolah. Semoga tulisan ini mampu membantu teman-teman guru dalam melindungi profesinya dari ancaman kekerasan. Menurut UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 1 tentang Pelindungan Anak, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Dari sisi peraturan perundang-undangan, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang memiliki komitmen besar bagi perlindungan anak dari kekerasan. Komitmen tersebut bukan hanya termaktub dalam undang-undang, namun secara jelas tercantum dalam UUD 1945.  Pasal 28 B ayat 2 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Menurut konstitusi tersebut, negara memastikan tak boleh ada anak Indonesia mendapat tindakan kekerasan dalam bentuk apapaun, kapanpun dan dimanapun, termasuk di satuan pendidikan.
Begitu tingginya komitmen perlindungan anak dalam pendidikan, UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara eksplisit banyak mengurai perlindungan anak dalam pendidikan. Dalam UU tersebut, menyebut kata “pendidikan” 19 Kali, menyebut kata “pendidik” 6 kali, kata “kependidikan” 6 kali, menyebut 2 kali kata “satuan pendidikan”, menyebut 14 kali kata “kekerasan” dan 2 kata “kekerasan di satuan pendidikan”. Sedangkan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kata “pendidikan” disebut 10 kali. Sementara dalam Kovensi Hak Anak yang sebagai bentuk komitmen internasional menyebut kata “pendidikan” 12 kali.
UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 9 ayat 1 secara tegas menyatakan (a), “setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”. Sementara pasal 54 menegaskan bahwa “anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.
Seperti disepakati bersama, kekerasan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan, baik dilihat dari prinsip-prinsip pendidikan maupun perlindungan anak. Tidak ada satu aturan dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai undang-undang hingga peraturan menteri terkait penyelenggaraan pendidikan yang mengizinkan praktik kekerasan.
Menurut Susanto (Wakil Ketua KPAI), dari sisi kasus, Indonesia merupakan negara yang menghadapi kekerasan terhadap anak cukup serius. Kekerasan di sekolah terjadi dengan berbagai macam bentuk mulai fisik, psikis, hingga seksual. Dalam berbagai bentuk kekerasan itu, anak menjadi korban atau pelaku, atau korban dan sekaligus pelaku. Tawuran, kekerasan saat MOS, dan bullying bahkan menjadi tradisi di sebagian sekolah yang seringkali melibatkan anak secara masif.
Masih menurut Susanto, kekerasan terhadap anak di sekolah merupakan masalah yang perlu segera dihentikan dan diputus mata rantainya. Usia anak sekolah merupakan korban cukup besar dari kasus kekerasan yang ada. Tak jarang anak usia sekolah bukan hanya menjadi korban tetapi juga menjadi pelaku kekerasan. Data pengaduan KPAI Tahun 2015, menunjukkan bahwa anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa, sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Anak korban tawuran 71 siswa, sementara anak menjadi pelaku tawuran 88 siswa. Di pihak lain, hasil riset global Ispsos bekerjasama dengan Reuters, menempatkan kasus bullying sebagai masalah serius. Sebanyak 74% responden dari Indonesia menunjuk Facebook sebagai media tempat terjadinya cyberbullying. Korban cyberbullying umumnya anak usia sekolah. Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) melaporkan bahwa terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten.  Selain itu, data dari Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan
Ragam data terkait kekerasan terhadap anak usia sekolah dapat menjadi catatan. Namun jumlah tersebut sejatinya merupakan fenomena gunung es dan belum merepresentasikan fakta kekerasan yang sesungguhnya terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Karena tak semua kasus kekerasan terdata, terlaporkan dan tertangani oleh lembaga layanan, sehingga datanya belum terakumulasi secara nasional.
Seringkali kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan, menunjukkan beberapa tipologi. Pertama, suatu tindakan yang sudah tergolong kekerasan, tetapi oleh tenaga pendidik dan kependidikan belum dipahami sebagai kekerasan, tetapi masih kategori pendidikan. Kedua, disadari sebagai tindakan kekerasan tetapi oleh tenaga pendidik dan kependidikan diyakini sebagai pendekatan efektif untuk pendisiplinan. Ketiga, disadari sebagai tindakan kekerasan, tetapi karena sudah menjadi tradisi, sehingga tetap dipertahankan.
Kelemahan pendidik dan tenaga kependidikan dalam memandang praktik kekerasan di satuan pendidikan, seringkali belum dipahami dengan perspektif yang sama. Diantara masalah yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan, meliputi: (1), belum bisa membedakan antara wilayah pelanggaran dengan wilayah pendidikan; (2), pendisiplinan disamakan dengan hukuman; (3), kekerasan dimaknai sebagai ketegasan; (4), sanksi menjadi andalan daripada konsekuensi; (5), pendekatan kekerasan dipahami untuk menjaga kewibawaan; (6), pendekatan kekerasan sebagai bentuk mental capacity.
Bentuk-bentuk kekerasan yang seringkali terjadi di sekolah, meliputi :
  1. Kekerasan Fisik, yaitu setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik. Bentuk kekerasan fisik diantaranya, menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari keliling lapangan, menghukum dengan cara push-up
  2. Kekerasan Psikis yaitu setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara psikis. Bentuk kekerasan psikis diantaranya; memandang sinis, memandang penuh ancaman, mendiamkan, mengucilkan, meneror lewat pesan pendek telepon genggam atau e-mail, memandang yang merendahkan, memelototi, dan mencibir;
  3. Kekerasan Verbal, yaitu , yaitu setiap perbuatan dalam wujud verbal yang berakibat timbulnya kesengsaraan dan penderitaan anak. Bentuk kekerasan verbal diantaranya; memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gossip, memfitnah dan menolak.
  4. Kekerasan Simbolik, yaitu setiap perbuatan dalam wujud simbolik yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan anak. Bentuk kekerasan simbolik diantaranya; gambar-gambar yang menyimbolkan kekerasan di buku-buku pelajaran, gambar-gambar yang menyimbolkan pornografi, gambar-gambar yang menyimbolkan diskriminasi, dll yang sekarang banyak muncul dalam buku-buku pelajaran.
  5. Kekerasan Seksual, yaitu , yaitu setiap perbuatan dalam bentuk seksual yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan anak. Bentuk kekerasan seksual, diantaranya; memegang, meremas bagian sensitif, berhubungan badan tanpa atau dengan paksaan, dan bentuk lain yang mengarah pada kekerasan seksual.
  6. Kekerasan Cyber, yaitu setiap perbuatan menggunakan media cyber berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan anak. Bentuk kekerasan cyber, diantaranya; mempermalukan, merendahkan, menyebar gossip di jejaring sosial internet (misal : Facebook).

Previous
Next Post »

Terimakasih Komentar Anda ConversionConversion EmoticonEmoticon