Sumbangan Pendidikan dalam Perspektif Keadilan


#LaporHendi Pak wali, SMA 5 ngotot minta sumbangan dg alasan BOS belum cair,
ortu ditekan,pripun Pak ?”

Setiap pagi saya melewati sebuah taman yang sangat populer di Kota Semarang. Taman yang identik dengan patung seorang ibu menggandeng anaknya. Bagi kalian yang tinggal di kota Lumpia ini menyebutnya Taman KB. Tulisan saya sebetulnya tidak membahas asal usul nama taman tersebut, tetapi membahas tempat parkir yang dipaksakan ada di sekitar taman. Tempat parkir itu memanjang mengitari taman yang sejuk. Deretan mobil keluaran terbaru berada di depan SMA 1 Semarang dan puluhan motor yang harganya tidak murah berjejer rapi tepi kiri taman. Menurut informasi yang saya dapat dari murid saya, harga sewa parkir di tempat itu berkisar seribu sampai tiga ribu rupiah. Sementara itu tidak kalah penuh parkir kendaraan di dalam sekolah. Semua ruang terbuka sekolah disulap menjadi tempat bersandar ratusan motor. 
Saya memulai tulisan dengan banyaknya siswa sekolah yang membawa mobil atau motor ke sekolah. Saya hubungkan tulisan ini dengan ramainya pemberitaan di surat kabar atau obrolan di rumah-rumah tentang tarikan uang sekolah. Berbagai keluhan tertulis di akun sosial media memprotes biaya tarikan sekolah untuk jenjang SMA dan SMK.  Tito Hananto‏ dengan akun twitter @HanantoTito  membuat tweet “#LaporHendi Pak wali,sma5 ngotot minta sumbangan dg alasan BOS blum cair,ortu ditekan,pripun Pak ?”, Aris Wibowo‏ dengan akun @ariswb14  tanggal 6 Maret 2017 membuat status , “siang bapak hendi thn lalu sekolah uang spp sukarela, tp sekarang jmlh ditentukan oleh  sklh 200rb sy wali murid SMA 15 SEMARANG #laporhendi, dan masih banyak status yang sama. 
Masyarakat seakan dikagetkan dengan biaya tarikan, sumbangan atau pungutan oleh sekolah. Hal ini disebabkan karena masyarakat menganggap bahwa sekolah itu gratis dan tidak perlu membayar sepeserpun. Budaya pikir ini juga diperkuat oleh jargon politik pada saat pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah bahwa sekolah gratis menjadi program prioritas jualan kampanyenya. Pertanyaan yang muncul adalah apa sebetulnya yang terjadi? Salahkah sekolah menarik iuran dari orang tua murid?
Menjawab pertanyaan tersebut dimulai dari aturan yang berlaku. Berita online www.viva.co.id menulis pendapat dari Menteri Pendidikan Muhadjir. "Pada dasarnya sekolah diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat, asalkan tidak memaksa," kata Muhadjir di sela sela Workshop Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di Jakarta, Kamis, 12 Januari 2017. Muhadjir menjelaskan, kebijakan tersebut dalam rangka memperkuat kemampuan pendanaan sekolah, yakni dengan semangat gotong royong. 
Sementara itu dalam laman web Kemendikbud di www.kemdikbud.go.id dijelaskan bahwa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah mengatur batas-batas penggalangan dana yang boleh dilakukan Komite Sekolah. Penggalangan dana tersebut ditujukan untuk mendukung peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah dengan azas gotong royong. Dalam Permendikbud tersebut, Komite Sekolah diperbolehkan melakukan penggalangan dana berupa Sumbangan Pendidikan, Bantuan Pendidikan, dan bukan Pungutan.
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Kemudian pada pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.
Yang dimaksud dengan Bantuan Pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya, dengan syarat yang disepakati para pihak. Sumbangan Pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa/ oleh peserta didik, orang tua/walinya, baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan. Kemudian Pungutan Pendidikan adalah penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.
Berdasarkan aturan tersebut jelas bahwa sekolah boleh menarik bantuan pendidikan dari orang tua murid. Bantuan pendidikan yang diperbolehkan adalah sumbangan pendidikan yang diberikan orang tua secara sukarela dan tidak mengikat. Kategori sumbangan ini menjadi dilema bagi sekolah karena sifatnya yang sukarela menyebabkan orang tua cenderung untuk memberikan “ala kadarnya”. Padahal disisi lain, sekolah sangat membutuhkan biaya untuk menutup operasionalnya terutama yang paling mendesak adalah gaji guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap yang jumlahnya tidak sedikit. Imbas dari pelimpahan wewenang SMA/SMK dari pemerintah kota ke pemerintah provinsi menyebabkan struktur anggaran sekolah berubah drastis. Biaya operasional yang dulu didapat dari pemerintah kota berkurang ketika melimpah ke provinsi. Untuk itu dua pihak baik orang tua dan sekolah harus bijak dalam mensikapinya. Komunikasi yang intensif melalui komite sekolah menjadi cara yang efektif mengatasi kendala biaya ini. Satu hal yang patut dipahami oleh orang tua bahwa sekolah sekarang bukan lagi gratis tetapi berbiaya terjangkau. Orang tua murid sudah harus kembali merubah anggaran keuangan rumah tangganya dengan kembali memasukkan biaya pendidikan menjadi prioritas utama. Sangat tidak adil ketika anaknya berangkat ke sekolah dengan mobil atau motor keluaran terbaru sementara meminta biaya pendidikan secara gratis. Jadi marilah kita berpikir proporsional dalam mensikapi perubahan ini. Kondisi ini tentu akan menguntungkan kedua belah pihak baik orang tua maupun sekolah.

Previous
Next Post »

Terimakasih Komentar Anda ConversionConversion EmoticonEmoticon