SMK Membaca, Mungkinkah?



Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) identik dengan sekolah yang mencetak tenaga kerja siap pakai. Peserta didik di SMK cenderung lebih pragmatis dan lebih menyukai hal praktis. Apakah ini berarti peserta didik di SMK tidak dapat diajak lebih banyak membaca selain mengerjakan tugas-tugas praktiknya? Penulis berpendapat mereka bisa melakukan keduanya.
Skor PISA Indonesia tahun 2015 menduduki peringkat 64 dari 72 negara yang diteliti dibandingkan peringkat 64 dari 65 negara pada tahun 2012. Hasil PISA 2015 memang menunjukkan peningkatan skor kompetensi sains dan matematika, namun Indonesia hanya mengalami peningkatan satu poin untuk membaca. Karena masih minimnya tingkat literasi, Pemerintah mengadakan Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan literasi peserta didik dari tingkat SD, SMP hingga SMA/SMK. Untuk SMA, kegiatan GLS cenderung lebih mudah diimplementasikan; sedangkan untuk SMK, karena tujuan sekolah yang berbeda, maka implementasinya memiliki tantangan tersendiri. 
Pertama: beban belajar di SMK lebih besar daripada SMA. Bisa dikatakan sejak diberlakukannya Kurikulum 2013, SMK merupakan sebuah SMA plus. Hal ini dikarenakan silabus mata pelajaran antara SMA dan SMK sangat mirip, dengan perbedaan pada mata pelajaran peminatan dan vokasi. Bahkan bisa dikatakan beban belajar di SMK lebih berat karena maksimal jumlah jam pelajaran di SMK adalah 48 sedangkan di SMA adalah 44. 
Kedua: sifat khusus SMK yang berbeda dari SMA. SMK lebih menitikberatkan pada keterampilan praktis sehingga sedikit banyak hal ini mempengaruhi peserta didik di SMK.  Mereka lebih banyak terpapar dengan keterampilan praktis-konkrit yang tercakup dalam mata pelajaran kejuruan yang mencapai 24 jam pelajaran vokasi per minggu dibanding dengan peserta didik SMA yang mendapatkan 18-20 jam mata pelajaran peminatan yang lebih bersifat abstrak-teoretis. Dengan demikian,  keterampilan abad ke-21 seperti 3C seperti critical thinking, communication, collaboration, dan creation yang bersifat abstrak-teoretis perlu lebih dibiasakan untuk mendukung pembudayaan literasi di SMK.
Di luar tantangan khusus yang penulis paparkan di atas, tantangan umum yang sering penulis jumpai adalah peserta didik yang lebih memilih untuk menonton video di perpustakaan daripada membaca. Menonton video memang lebih ringan karena bersifat reseptif dibandingkan membaca yang lebih bersifat reseptif-produktif. Kegiatan memahami dan menginterpretasikan bacaan merupakan kegiatan produktif yang lebih berat. Untuk menjembatani celah di antaranya, peserta didik bisa diarahkan untuk menonton video yang mendukung pembelajaran. Misalnya, ketika peserta didik menemui kesulitan dalam pembelajaran matematika, mereka bisa dipersilakan mencari video pembelajaran sesuai materi di internet. Cara lain yang bisa dilakukan bagi guru bahasa: video story telling. Peserta didik bisa diarahkan untuk membuat tugas mereka yang dinarasikan dalam bentuk video. 
Membaca buku perlu dibudayakan di sekolah. Nobel untuk sastra dan tidak adanya nobel untuk film membuktikan bahwa pengakuan untuk sastra lebih terlembaga daripada pengakuan untuk film. Di negara bagian Virginia, Amerika Serikat, sekolah memiliki mata pelajaran membaca (Reading) yang terpisah dari mata pelajaran bahasa. Ditambah lagi, dalam mata pelajaran bahasa guru sering memberikan tugas membaca 30 menit di awal proses pembelajaran. Hal itu membuktikan bahwa membaca sangat ditekankan di negara maju seperti Amerika Serikat. Untuk tujuan praktis, media film bisa membantu dalam memahami materi pembelajaran. Di pihak lain, membaca buku merupakan suatu keterampilan yang sampai sekarang tak tergantikan karena membaca buku melatih keterampilan berpikir kritis, interpretasi, imajinatif, dan reflektif. 
Membiasakan peserta didik untuk membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai merupakan langkah yang baik. Di luar kewajiban itu, guru bisa meletakkan buku-buku yang bisa dibaca saat senggang di lemari khusus di ruang kelas. Tugas tak terstruktur seperti meminta peserta didik mengutarakan kembali interpretasi mereka terhadap suatu buku juga bisa memicu mereka untuk lebih mencintai buku. 
Akhir kata, pelajar di SMK tetap bisa dibiasakan untuk membaca dan itu bisa diusahakan bersama oleh guru dan sekolah.

Ditulis oleh :
Widio Pranoto
Guru Bahasa Inggris SMK Negeri 2 Pati
Alumni Kelas Menulis Angkatan I Pusat Pelatihan Guru

Previous
Next Post »

Terimakasih Komentar Anda ConversionConversion EmoticonEmoticon