Menuntun Generasi Z Di Era Digital


Apakah generasi Z itu? Generasi  Z adalah mereka yang dilahirkan pada tahun 1995-2010, mereka terlahir dari generasi X (kelahiran 1965-1980) dan Generasi Y ( kelahiran 1980-1994). 
Sebagai individu yang berprofesi guru, tentulah kita pun mempunyai kewajiban dalam menuntun perkembangan mental dan kognisi dari anak didik kita. Masih bisa kita lihat fenomena anak didik kita sekarang ini, dalam memakai sosial media sebagai tempat berekspresi atau layanan digital lain dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang tudingan jari mengarah pada sang guru. “Siapakah gurunya, kok tingkahnya sangat tidak sopan seperti itu?” 
Tetapi tidak sedikit pula prestasi siswa yang mampu membuat dada bergetar karena haru dan bangga. Terbukti, sejumlah pemuda Indonesia berprestasi di kancah lomba digital. Mulai dari pembuat game, aplikasi mobile, hingga blogger dan seniman yang bisa mempopulerkan karyanya lewat media sosial. Dikenal pula istilah influencer, selebgram, selebtweet, yang mempunyai arti orang-orang berpengaruh di media sosial. Siapakah mereka? Mungkin sekali adalah mantan atau masih jadi siswa kita. Siapa pemuda sekarang yang tidak mengenal Raditya Dika, Arief Muhammad, Maudy Ayunda, dan Awkarin?
Mereka mempunyai andil yang sangat besar dalam mempengaruhi perkembangan anak didik kita. Pertanyaan besarnya adalah : Apakah semuanya baik untuk ditiru? Oleh karena itu kita sebagai guru harus memiliki kontribusi dalam memberikan wawasan agar generasi kita selanjutnya tidak salah arah. 
Beberapa kemampuan dasar yang bisa kita contohkan antara lain adalah kemampuan dalam mengelola identitas diri. Siswa perlu kita beri contoh agar secara personal mereka bisa bertanggung jawab dalam mengelola akun digital mereka. Tidak perlu seorang guru membuat nama akun facebook yang berbau alay karena ingin lucu-lucuan atau ikut arus. Jika seorang guru sudah tidak percaya diri dengan nama aslinya, bagaimana anak didiknya akan menirunya? Dengan belajar bertanggungjawab di dunia maya, siswa juga akan belajar tentang personal branding. Mereka belajar membangun karakter yang mantap dalam dunia digital. Bagaimana menjadikan dirinya dikenal oleh masyarakat luas dengan aksi positif, juga berhati-hati dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Dalam membangun personal branding, perlu juga membuat konten digital. Bukan hanya sekedar posting, tetapi juga mempunyai makna dan kandungan yang bermanfaat bagi pembaca sosial medianya. Keteraturan dalam memakai tata bahasa yang baik, kekayaan pemilihan diksi, sungguh sangat bermanfaat bagi kedewasaaan dan bekal siswa untuk terjun ke masyarakat. Memakai istilah gaul bisa dimanfaatkan untuk mendekatkan jarak antara guru dan siswa, tapi tidak perlu untuk merusak tata bahasa kita, misal dengan sok nginggris tapi tidak paham grammarnya.
Terkait dengan isu maraknya hoax di dunia maya, sebagai guru kita pun harus belajar agar terampil dalam melakukan pencarian informasi yang valid. Google bukan lagi dewa pengetahuan jika kita tidak mahir dalam memilah informasi. Karena internet juga bisa dipakai untuk meraih kekayaan, oknum yang tidak bertanggungjawab bisa pula dengan mudahnya menyebar informasi palsu. Pun tidak setiap informasi yang valid juga bermanfaat. Tidak perlu terburu-buru dalam share sebuah informasi. Perlu disaring dahulu. Apakah valid? Apakah diperlukan? Apakah bermanfaat?
Menuntun anak didik dalam menguasai era digital ini tidaklah mudah. Dimulai dengan mempraktekkan kemampuan itu dari diri sendiri. Walaupun sebenarnya ada jurang yang cukup nyata, yaitu sebagian besar dari guru sekarang merupakan generasi X dan Y yang masih perlu banyak belajar dalam menguasai era digital. Namun hal itu bukanlah halangan yang berat, karena guru pada dasarnya adalah insan pembelajar, yang akan terus belajar hingga akhir hayat. 

Ditulis oleh :
Anisa Rahmanti
Guru Teknik Komputer dan Jaringan di SMK Negeri 1 Kab. Rembang, Jawa Tengah
Alumni Kelas Menulis Angkatan I Pusat Pelatihan Guru

Terimakasih Komentar Anda ConversionConversion EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng