Guru Profesi Yang "Tidak Jelas"

 


Gambar : Bintek Guru SMP Kabupaten Semarang


Bicara guru tidak akan habis menunya. Mulai dari kelemahan dan kelebihannya. Mulai dari kekurangan dan kehebatannya. Guru hebat bisa jadi karena aslinya memang berbakat hebat. Guru biasa bisa jadi awalnya hebat tetapi karena asupan menu kompetensinya berkurang maka berangsur menjadi guru biasa. Bisa juga guru biasa karena niatnya memang tidak jadi guru dan terpaksa berprofesi guru maka terpuruk dalam ketidaknyamanan.

Guru dalam kacamata profesi memang "tidak jelas". Karena tupoksi dan kode etik bolak-balik dilanggar tetap melenggang sebagai guru. Dari lima tupoksi, bisa jadi hanya tupoksi melaksanakan pembelajaran yang konsisten. Empat kompetensi lain dalam wilayah abu-abu.

Persoalan guru memang tidak sederhana. Walau jangan pula dinyatakan terlalu kompleks. Membahas kompetensi guru, prinsip dasarnya adalah memetakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru. Dalam konteks ini, mengutip pendapat Syarifudin, setidaknya dapat diduga ada empat penyebab rendahnya kompetensi guru.

Pertama, ketidaksesuaian disiplin ilmu dengan bidang ajar. Masih banyak guru di sekolah yang mengajar mata pelajaran yang bukan bidang studi yang dipelajarinya. Hal ini terjadi karena persoalan kurangnya guru pada bidang studi tertentu.

Kedua, kualifikasi guru yang belum setara sarjana. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru menjadi tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya. Bahkan tidak sedikit guru yang sarjana, namun tidak berlatar belakang sarjana pendidikan sehingga "bermasalah" dalam aspek pedagogik.

Ketiga, program peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru yang rendah. Masih banyak guru yang "tidak mau" mengembangkan diri untuk menambah pengetahuan dan kompetensinya dalam mengajar. Guru tidak mau menulis, tidak membuat publikasi ilmiah, atau tidak inovatif dalam kegiatan belajar. Guru merasa hanya cukup mengajar.

Keempat, rekrutmen guru yang tidak efektif. Karena masih banyak calon guru yang direkrut tidak melalui mekanisme yang profesional, tidak mengikuti sistem rekrutmen yang dipersyaratkan. Kondisi ini makin menjadikan kompetensi guru semakin rendah.

Fakta di tahun 2016, kualitas pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 69 negara. Hal ini menjadi cermin konkret akan kualitas dan kuantitas guru di Indonesia. Maka harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas guru. Karena nyatanya, tidak sedikit guru yang hari ini tetap saja menjalankan proses belajar-mengajar dengan pola "top-down". Guru seolah berada "di atas" dan siswa berada "di bawah", guru bertindak sebagai subjek dan siswa sebagai objek belajar.

Guru merasa berkuasa untuk "membentuk" siswanya. Ibaratnya, guru menjadi "penabung" dan siswa sebagai "celengan" sehingga siswa berstatus hanya menerima apapun yang dituangkan guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya. Siswa hanya bisa disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal dirinya lalu mampu bertahan hidup.

Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan "pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan". Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan "meniadakan" problematika belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru harus berpijak pada kemampuan dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam belajar.

Rendahnya kompetensi guru sebetulnya disadari betul oleh guru itu sendiri. Tetapi akumulasi lemahnya kompetensi tidak mampu dipetakan dengan baik. Banyak sekali guru yang tidak melakukan evaluasi diri di awal tahun. Padahal dari evaluasi diri ini guru bisa membuat program untuk menutup kekurangannya. Evadir yang dibikin bisa dibreakdown ke ke PKB. Dari PKB dilaksanakan detail dalam SKP. Di sini peran atasan langsung sangat diperlukan. Kepala sekolah harus membuat guru mengerti kebutuhannya. SKP tahunan ditandatangani jika guru mampu menjelaskan perencanaan program pengembangan diri selama setahun. Jika tidak bisa ya jangan ditandatangani.

Satu masalah lagi yang sering muncul adalah guru sangat jarang melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Penelitian Tindakan Kelas justru menjadi momok yang sangat ditakuti. Guru terkesan alergi dengan PTK. Padahal dari hasil PTK guru bisa memberikan perbaikan dalam pembelajaran.


Previous
Next Post »

Terimakasih Komentar Anda ConversionConversion EmoticonEmoticon