Bertahan Dari Keterbatasan Karena Belajar

Pelatihan Guru di SMKN Satu Atap Tuntang


Suara khas Fiersa Besari mengalun dari player mobilku. Lagu Terima kasih dan maaf anggun masuk ke telingaku. Sebuah lagu yang sangat menusuk hati saya karena kerinduanku pada orang tua di kampung. Lirik lagu Fiersa memang sarat makna. Satu penggalan lirik yang membuat saya harus termenung adalah ini : Aku sering bilang, aku menyayangimu, Tapi tak punya waktu untuk bertemu, Terlalu bersibuk, sampai aku lupa, Kau takkan selamanya ada. Dahsyat bukan liriknya?

Biarlah suara Fiersa terus berputar mengiringi perjalanan pulangku dari sekolah. Menyusuri jalan beton tol Bawen – Banyumanik. Sudah hampir dua minggu ini memang kondisi fisik belum prima. Rasa lelah yang terus mendera memang menjadi penghambat aktifitas. Tetapi dari pagi kembali ke pagi aku kuatkan untuk terus bekerja. Jarak tempuh yang lumayan jauh memang cukup menguras energi.

Setahun menjadi nakoda sebuah sekolah satu atap memang penuh romantika. Roman-roman kehidupan memang tidak seindah hidupnya “Dylan”. Tapi you must go on, hidup terus berjalan. Hidup adalah sebuah perjalanan. Demikian salah seorang guru kehidupan pernah berkata. Dan karena hidup adalah sebuah perjalanan, maka tugas kita hanya berjalan dan terus berjalan, hingga kita sampai di tempat tujuan.

Perjalanan hidup memang tidak selamanya indah, tetapi apapun kehidupan saya harus bersyukur dan berterima kasih kepada Allah SWT. Karena dialah saya dapat mendapatkan nikmat yang begitu besar untuk dapat hidup di dunia ini. Ada kalimat bijak yang patut kita renungi, Tuhan tidak menjanjikan langit itu selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar. Tapi ketahuilah, bahwa Dia selalu memberi pelangi di setiap badai, tawa di setiap air mata, berkah di setiap cobaan, dan jawaban dari setiap doa.

Saya teringat dengan kisah Ahmad Zaki, CEO Bukalapak yang pernah saya baca. Pria asal Sragen dengan gaya santai tersebut awalnya bukanlah siapa-siapa. Ia hanya seorang anak desa yang saat hidup bersama orang tuanya sempat tidak mengalami listrik PLN waktu kecil. Hidup di kampung membuatnya sangat jauh dengan capain yang diraihnya saat ini. Sepintas mustahil atau tak mungkin. Sekolah SD dan SMP di kota kelahirannya Sragen, SMA pindah ke Solo dan berhasil masuk Perguruan Tinggi elit Institut Teknologi Bandung (ITB).

Waktu masih kuliah di nyambi jualan mie ayam. Sebuah keputusan yang mendapat cibiran dari teman-temannya. Beberapa bulan jualan mie ayam, ia tidak bisa melanjutkan. Roda usahanya terhenti di tengah jalan karena tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Lulus dari ITB, dia mengalami kegalauan yang luar biasa. Bagaimana tidak, kesan lulusan ITB mudah mencari kerja di perusahaan-perusahaan besar. Sementara dia masih begitu-begitu saja. Pernah mengajukan lamaran kerja, namun tidak ada yangg menerimanya.

Ia pun mencoba kembali peruntukan dengan skill membuat web dan sejenisnya, sebagai modal awal. Dari situlah mulai terpikir bagaimana membuat Bukalapak seperti yang kita kenal saat ini. Ia pun menawarkan gagasan tersebut kepada rekan-rekannya. Hanya satu oang temannya "terbujuk rayunya", orang itu merupakan sahabatnya di SMA dulu.

Zakypun membuat web Bukalapak. Berbulan-bulan web dibangun kemudian dilaunching ke publik. Apa yang terjadi? Web yang dia bikin itu sepi pengunjung, alias tidak ada yang mau pasang produk di market placenya itu. Ia mulai berfikir keras bagaimana mendatangkan pengguna Bukapalak. Ia pun langsung door to door, mendatangi para pemilik ritel untuk memajang produk di Bukalapak. Selain itu, kirim email ke berbagai perusahaan yang hasilnya lagi-lagi masih tidak sesuai yang diharapkan.

Ia melakukan promosi secara manual salah satunya melalui Facebook. Setiap hari dia berhasil melakukan massage via inbox Facebook kepada 500 akun. Dua tahun lamanya, Ahmad Zaki melakukan itu tanpa henti. Dari sinilah Bukalapak mulai mendapat pengunjung. Perlahan dan pasti, setiap hari makin bertambah seiring berjalannya waktu serta promosi tanpa henti.

Cerita hidup Ahmad Zaki menjadi inspirasi saya untuk membangun sekolah satu atap. Sekolah kecil tanpa modal bahkan ditinggali hutang puluhan juta rupiah harus tetap eksis. Kuncinya terus belajar, belajar dan belajar. Dari belajar akhirnya saya bisa menguasai berbagai materi. Konten inilah yang kemudian menjadi jualan saya. Kami mulai berani menjajakan kemampuan kami kepada teman-teman guru. Perlahan tapi pasti kami mulai mendapat tempat di hati guru.

Pagi itu dua mahasiswa Unnes jurusan Administrasi Perkantoran datang ke sekolah. Dengan membawa sepucuk surat pemberitahuan dari Dekan, mereka meminta ijin mewawancarai saya tentang pengelolaan dana sekolah. Wawancara berlangsung lancar diselingi diskusi. Ketika sekolah bisa eksis karena mendapatkan dana milyaran rupiah dari pemerintah dan biaya personal guru juga dari pemerintah itu hal yang biasa.

Satu mahasiswa menyela, “iya ya pak, enak sekali”. Terus jika sekolah kecil dengan bantuan kecil dan gurunya rata-rata bukan PNS dengan gaji dari sekolah, solusinya bagaimana? Dia penasaran dengan masalah yang satu ini. Saya hanya menjawab singkat, mari kita jadi CEO. Apa itu? Kepala Sekolah dengan jiwa wirausaha.

Oh ya saya harus prepare untuk persiapan besok melatih guru-guru belajar media pembelajaran dengan Android di lab sekolah.

LPMP Jawa Tengah, 12 April 2019.

Penulis saat itu Kepala SMKN Satu Atap Tuntang.


Previous
Next Post »

Terimakasih Komentar Anda ConversionConversion EmoticonEmoticon