Pendidikan yang Membebaskan

Tidak terasa dua bulan lagi adalah tanggal 17 Agustus, tanggal dimana pertama kali Soekarno dan Hatta mewakili bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka. Merdeka sebagai kata magic yang mampu menggerakkan setiap potensi bangsa ini di seluruh pelosok untuk bersatu. Merdeka menjadi kata sakti yang terus dipertahankan dari tahun ke tahun dan tidak terasa besok adalah mempertahankan kemerdekaan ke 71. Perayaan ini seperti biasa disambut meriah di setiap kampung. Tanpa digerakkan, orang tua, anak muda, ibu-ibu bahu membahu menghias kampung dan menyelenggarakan tirakatan malam ini.
Angka 71 berarti 71 kali kita mempertahankan kemerdekaan apakah benar-benar sudah mampu membebaskan? Membebaskan dari jurang kemiskinan?  membebaskan dari penindasan hukum?  membebaskan dari arogansi? Beruntun pertanyaan ini seakan perlu jawaban yang kadang tidak perlu memuaskan. Mari kita lupakan sejenak berita yang berseliweran di sekitar kita, berita tentang harga daging sapi, berita tentang arogansi genk motor, berita tentang pergantian kapolri. Mari kita kembali ke khittah kita sebagai guru. Apakah kita sudah mampu membebaskan anak didik kita dari kegagapan menghadapi mata pelajaran yang diberikan? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya mengambil tulisan sedikit tentang kondisi pendidikan kita. Kita perlu malu jika di mata dunia, mutu pendidikan Indonesia ternyata masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, khususnya di Asia Tenggara. Berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014 sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, memaparkan jika Indonesia menduduki posisi bontot alias akhir dalam mutu pendidikan di seluruh dunia. Indonesia menempati posisi ke-40 dengan indeks rangking dan nilai secara keseluruhan yakni minus 1,84. Sementara pada kategori kemampuan kognitif indeks rangking 2014 versus 2012, Indonesia diberi nilai -1,71. Sedangkan untuk nilai pencapaian pendidikan yang dimiliki Indonesia, diberi skor -2,11. Posisi Indonesia ini menjadikan yang terburuk. Di mana Meksiko, Brasil, Argentina, Kolombia, dan Thailand, menjadi lima negara dengan rangking terbawah yang berada di atas Indonesia.  Sekadar informasi, pada 2012, mutu pendidikan Indonesia juga berada di posisi terbawah, bersama dengan Meksiko dan Brasil. Indeks ini pertama kali diterbitkan pada November 2012, dan diperbarui dengan data terbaru pada Januari 2014.
Membaca data tersebut tentu kita sebagai guru merasa miris, sedemikian parahkah anak didik yang kita ajar dengan kualitas seperti itu? Mari kita coba instrospeksi dan berbenah diri, apa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia? Sekedar berpendapat saja, salah satu penyebab adalah rendahnya efektifitas pendidikan. Ibarat main bola, kita seperti oper mengoper bola tanpa tahu gawang musuh dimana.  Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak peduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah.
Bertepatan dengan momen 71 tahun Indonesia Merdeka, mari kita para guru memeriahkan HUT itu dengan memberikan layanan terbaik kepada siswa berupa pembelajaran yang mudah, menyenangkan dan mencapai tujuan. Ibarat bermain bola, mari kita sebagai pelatih memberikan instruksi yang mudah dicerna pemain, efektif dalam bermain dan ujungnya membobol gawang lawan. Jika setiap guru mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan di kelas maka gairah belajar siswa pasti meningkat dan pada akhirnya kita sebagai bangsa tidak malu dengan bangsa lain, semoga.
Previous
Next Post »

Terimakasih Komentar Anda ConversionConversion EmoticonEmoticon